KECUBUNG-02


kembali | lanjut

cover kecubung 02ADA yang menahan agar hamba tidak menyampaikannya di dalam pertemuan itu.”

“Siapa yang menahan?”

“Kata hatiku sendiri, Kangjeng Adipati.”

“Kakang. Aku sudah mengenal kakang sejak lama. Aku tahu bahwa kakang bukan seorang yang ragu-ragu untuk mengambil sikap. Tetapi kenapa sekarang, tiba-tiba kakang telah berubah. Seakan-akan kakang menjadi orang lain.”

“Ampun Kangjeng Adipati. Sebenarnyalah hamba ingin menyampaikan keberatan hamba terhadap rencana pengam-punan atas Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.”

“Hal itu sudah pernah kau sampaikan kakang.”

“Ya, Kangjeng. Sekarang hamba ingin mengulanginya. Di Pucang Kembar hamba mendapat keterangan, bahwa sebenarnya sikap Raden Tumenggung Wreda itu masih belum berubah. Jika Raden Tumenggung Wreda itu pulang, maka kemungkinan timbulnya keresahan masih tetap ada.”

“Kakang Rcksabawa. Apakah kakang tidak yakin akan kemampuan para petugas sandi kita serta kekuatan para prajurit di Sendang Arum? Kakang sendiri seorang prajurit. Seandainya kakangmas Tumenggung Reksayuda masih bertingkah macam-macam, maka aku akan dapat merintahkan seseorang saja, tanpa sekelompok prajurit, untuk menangkapnya.”

Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang.

“Seandainya yang seorang itu kakang Tumenggung, apakah kira-kira kakang Tumenggung Reksabawa tidak akan sanggup melakukannya?”

“Hamba akan menjalankan segala perintah apapun taruhannya. Tetapi persoalannya tidak sesederhana itu.”

“Maksud kakang Reksabawa?”

“Hamba ingin memperingatkan bahwa mungkin sekali kekuatan dari luar akan ikut campur.”

“Maksud kakang, kekuatan dari luar yang dengan diam-diam membantu kakangmas Reksayuda, begitu?”

“Hamba Kangjeng Adipati. Mungkin bantuan itu dapat berujud uang. Mungkin senjata. Tetapi bahkan mungkin pasukan.”

“Kakang” berkata Kangjeng Adipati, “kita mempunyai pasukan sandi yang terhitung baik. Kita tentu akan dapat mengetahui jika ada hubungan antara kakangmas Reksayuda dengan pihak luar. Seandainya ada bantuan yang di terima oleh kangmas Reksayuda, maka kita dengan cepat akan menghancurkannya apapun ujudnya.”

Ternyata Ki Tumenggung Reksayuda tidak berhenti sampai sekian. Meskipun dengan jantung yang berdebaran Ki Tumenggung berkata, “Aku tidak yakin, bahwa Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar itu bersikap jujur. Jika Kangjeng Adipati itu bersikap jujur, hamba tentu akan diperkenankan menemui Raden Tumenggung Reksayuda langsung.”

“Kakang Tumenggung. Kau jangan mementahkan lagi pembi-caraan yang sudah sampai pada satu kesimpulan. Kenapa kau tidak mengatakan hal itu pada waktu pertemuan tadi sehingga keteranganmu itu akan dapat menjadi bahan pertimbangan banyak orang.”

“Hamba mohon ampun, Kangjeng. Tetapi sebenarnyalah hamba mendengar dari seseorang yang dapat dipercaya di Pucang Kembar.”

“Siapa ?”

“Orang itu tidak mau disebut namanya. Ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, karena keterangannya berbeda dengan keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara.”

“Kakang Tumenggung. Aku tidak mau mendengar keterangan dari bayangan yang tidak dikenal itu.”

“Hamba yakin akan kebenaran keterangannya, Kangjeng.”

“Kakang” nada suara Kangjeng Adipati meninggi, “aku tidak tahu apa maksudmu sebenarnya, bahwa kau dengan cara yang kurang mapan telah berusaha menggagalkan pengampunan terhadap kakang Tumenggung Reksayuda. Apakah sebenarnya pamrihmu? Apakah kau ingin agar jabatan kakangmas Reksayuda itu tetap kosong, sehingga kau akan dapat menggantikannya. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa jika kelak kakangmas Tumenggung itu pulang, ia tidak akan mendapatkan jabatannya kembali. Ia tidak akan menjadi salah seorang Tumenggung Wreda dengan kekuasaan apapun juga.”

“Ampun Kangjeng Adipati. HamDa sama sekali tidak berniat untuk membidik jabatan yang kosong itu. Hamba tahu diri, bahwa hamba bukan orang yang memiliki kelebihan. Bahkan sekarang hamba mendapat anugerah kedudukan sebagai seorang Tumenggung, hamba telah mengucap syukur.”

“Jika demikian, apakah karena perempuan itu? Kakang tidak ingin bahwa suami perempuan muda yang cantik itu pulang.”

“Ampun Kangjeng. Jika itu yang hamba inginkan, maka terkutuklah hamba. Hamba mempunyai seorang isteri yang setia, yang bersedia hidup bersama, tetapi juga bersedia mati bersama. Dalam keadaan apapun hamba tidak akan mengkhianati isteri hamba.”

“Jika demikian, lupakan saja kecemasan kakang itu, Biarlah besok aku nyalakan didalam sidang, bahwa aku telah mengampun-kan kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda. Tentu saja bersamaan dengan itu, aku akan memberikan perintah kepada Senapati pasukan sandi agar dengan hati-hati selalu mengawasi kakangmas Tumenggung, terutama hubungannya dengan orang yang tidak dikenal.”

Ki Tumenggung Reksabawa menundukkan kepalanya.

“Kakang Tumenggung. Aku terpaksa tidak dapat memenuhi keinginan kakang Tumenggung. Bukan berarti bahwa aku tidak mau mendengarkan pendapat kakang Tumenggung. Bukankah selama ini aku hampir tidak pernah menolak dan mengkesampingkan pendapat kakang ? Tetapi kali ini aku tidak dapat menerimanya, karena aku juga harus mendengarkan pendapat banyak orang yang ternyata condong untuk menerima kakangmas Tumenggung Wreda itu kembali ke Sendang Arum.”

“Hamba mengerti, Kangjeng Adipati.”

“Kau jangan menjadi sakit hati. Kau harus menerima kenyataan dalam perbedaan pendapat ini.”

“Hamba mengerti, Kangjeng Adipati. Hamba sama sekali tidak menjadi sakit hati, meskipun hamba mengakui, bahwa hamba menjadi cemas. Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Hamba hanya melihat dengan mata perasaan hamba, bahwa sesuatu akan terjadi.”

“Jangan cemas. Kita harus percaya diri, bahwa kita sekarang cukup kuat untuk menghadapi banyak persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan hidup kita.”

“Hamba Kangjeng Adipati” sahut Ki Tumenggung Reksabawa yang kemudian mohon diri, “ampun Kangjeng. Jika demikian perkenankanlah hamba mengundurkan diri.”

“Silahkan, kakang.”

Ki Tumenggung Reksabawa pun kemudian meninggalkan serambi dalem Kadipaten.

Sepeninggal Ki Tumenggung, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk sendiri di serambi. Pandangan matanya menerawang jauh menembus pintu yang terbuka, menusuk ke panasnya sinar matahari di siang hari.

Kangjeng Adipati terkejut ketika ia mendengar suara lembut, yang rasa-rasanya seperti suara Raden Ayu Wirakusuma yang telah meninggal, ”Uwa Tumenggung Reksabawa benar.”

Kangjeng Adipati itupun segera bangkit. Ketika ia berpaling, maka yang dilihatnya adalah anak perempuannya, Ririswari.

“Kau Riris” desis Kangjeng Adipati.

“Hamba ayahanda. Menurut pendapat hamba, apa yang dikatakan oleh Uwa Tumenggung Reksabawa itu benar.”

Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. Katanya, “Riris. Sudahlah. Sebaiknya kau tidak usah ikut memikirkan tata pemerintahan di Sendang Arum.”

“Ayahanda. Dahulu, ketika ibunda masih ada, ayahanda selalu bersedia mendengarkan pendapat ibunda meskipun kadang-kadang ayahanda tidak sependapat. Sekarang, aku mohon ayahanda bersedia juga mendengarkan pendapatku.”

“Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara tentang pemerintahan serta kebijaksanaan yang aku ambil, Riris.”

“Ayahanda” berkata Riris kemudian, “seperti yang pernah aku katakan, menurut pendapatku, bibi yang muda dan cantik itu tidak berbuat jujur. Jika bibi memohon pengampunan bagi uwa Tumenggung, itu hanya sekedar permainan yang belum kita ketahui maksudnya.”

“Kau berprasangka Riris.”

“Mungkin dengan memohon pengampunan itu, bibi mendapat kesempatan untuk dapat menghadap ayahanda berkali-kali.”

“Riris.”

“Bukankah bibi masih muda, cantik dan gelisah?”

“Kau memandangnya dari sisi yang lain dari sisi pandang Ki Tumenggung Reksabawa.”

“Bagi bibi, apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, sudah bukan masalah lagi.”

“Sudahlah. Jangan kau turutkan hatimu yang masih muram sepeninggal ibumu. Beristirahatlah.”

“Tetapi ayahanda, aku mohon ayahanda memperhatikan rerasan para putri serta para istri Tumenggung di Sendang Arum. Mereka menyebut bibi Reksayuda adalah seorang perempuan yang mendambakan derajad dan semat. Seorang perempuan yang haus kekuasaan, pujian dan kekayaan.”

“Jika sentuhan perasaanmu benar. Riris. Aku justru akan membiarkannya uwakmu kakangmas Tumenggung Reksayuda berada di pengasingan.”

“Uwa Tumenggung Reksayuda sudah tua. Ia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi, ayahanda.”

“Jika demikian, kau tidak perlu membenarkan pendapat Ki Tumenggung Reksabawa.”

“Ada yang sama dengan pendapatku, ayahanda.”

“Tidak. Jauh berbeda. Kakang Tumenggung Reksabawa memandang persoalan ini dari sisi pemerintahan, kau memandangnya dari sisi kekecewaan seorang gadis yang baru saja ditinggalkan oleh ibunya. Kepercayaanmu kepadaku goyah, Riris.”

“Ayahanda. Pendapatku yang sama dengan pendapat uwa Tumenggung Reksabawa adalah, bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang akan dapat mengguncang ketenangan dan kedamaian di kadipaten Sendang Arum.”

“Riris. Sebaiknya kau tenangkan hatimu. Beristirahatlah. Tidak akan terjadi apa-apa di kadipaten ini.”

Riris menarik nafas panjang. Namun gadis itupun kemudian meninggalkan ayahandanya yang berdiri termangu-mangu. Namun kangjeng Adipati pun kemudian duduk kembali. Pandangan matanya pun kembali menerawang kekejauhan.

Di hari berikutnya, Kangjeng Adipati duduk di pendapa Agung Kadipaten Sendang Arum, dihadap oleh para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan di Sendang Arum. Para nayaka dan sentana.

Dalam pertemuan itu, Kangjeng Adipati pun berkata kepada semuanya yang hadir, “Para pemimpin di Sendang Arum, para sentana dan nayaka, aku, Adipati Sendang Arum, yang memegang kekuasaan tunggal, telah memutuskan, berdasarkan pembicaraan diantara para pemimpin, nayaka dan sentana kadipaten Sendang Arum, bahwa aku, Adipati Sendang Arum, telah memberikan pengampunan kepada Raden Tumenggung Reksayuda yang karena kesalahan yang telah dilakukannya, diasingkan ke luar tlatah Kekuasaan kadipaten Sendang Arum dan memilih untuk tinggal di Kadipaten Pucang Kembar selama lima tahun. Tetapi atas permohonan, atas pertimbangan dan pendapat para pemimpin, para nayaka dan sentana, maka setelah Raden Tumenggung Reksayuda menjalani hukuman sekitar tiga tahun, maka aku, Adipati Sendang Arum telah menetapkan, bahwa Raden Tumenggung Reksayuda tidak perlu menjalani sisa hukumannya. Karena itu, maka sejak saat ini, Raden Tumenggung Reksayuda sudah dibebaskan dari hukuman pengasingan itu.”

Semua yang hadir mendengarkan pernyataan Kangjeng Adipati Wirakusuma dengan sungguh-sungguh. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut lagi, karena persoalannya memang sudah dibicarakan sebelumnya. Meskipun ada satu dua orang yang berpendapat lain, tetapi sebagian terbesar dari para pemimpin, nayaka dan sentana tidak menaruh keberatan atas pengampunan itu.

Namun dalam pada itu, demikian Kangjeng Adipati selesai dengan pernyataannya itu, tangis Raden Ayu Reksayuda tidak tertahankan lagi. Sambil menyembah, disela-sela isak tangisnya, Raden Ayu Reksayuda itupun berkata patah-patah, “Terima kasih. Terima kasih dimas Adipati. Sebenarnyalah Dimas Adipati adalah seorang pemimpin yang berhati mulia. Dimas sudah menunjukkan sifat kepemimpinan yang sejati dari seorang Adipati. Seorang pemimpin yang adil yang memerintah dengan kasih. Yang Maha Agunglah yang akan menilai, betapa Dimas Adipati benar-benar telah menjalankan tugas didunia ini berdasarkan atas limpahan kuasa-Nya.”

“Sudahlah, kangmbok. Yang aku lakukan sama sekali bukan karena kelebihanku sebagai seorang titah yang kebetulan mendapat limpahan kuasa itu. Keputusanku itu didasari dengan pembicaraan diantara para pemimpin di Sendang Arum. Aku hanya mengambil kesimpulan dari pembicaran itu saja.”

“Tetapi jika kesimpulan itu tidak berkenan di hati Dimas Adipati, maka Dimas akan dapat mengambil keputusan yang lairi.”

“Aku sudah menyatakan keputusan itu. Selanjutnya terserah kepada kangmbok, kapan kangmbok akan menjemput kakangmas Reksayuda. Biarlah Kakang Tumenggung Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna membantu pelaksanaannya, sekaligus menjadi wakilku, menghadap kangmas Tumenggung Jayancgara di Pucang Kembar, menyampaikan keputusanku ini.”

“Terima kasih, Dimas Adipati. Sebelumnya aku minta bantuan kakang Tumenggung Jayataruna serta kakang Tumenggung Reksabawa, aku akan menghubungi puteraku, Jalawaja. Jika saja Jalawaja bersedia ikut serta menjemput ayahandanya.”

“Terserah saja kepada kangmbok Reksayuda” sahut Kangjeng Adipati, Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabawa, “Aku minta kakang Tumenggung berdua membantu pelaksanaan penjemputan kangmas Reksayuda.”

“Hamba Kangjeng” jawab keduanya hampir bersamaan.

“Nah, tidak ada lagi persoalan yang akan aku bicarakan hari ini. Dalam pertemuan ini, aku hanya ingin menyampaikan keputusanku tentang pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda” lalu katanya kepada Ki Tumenggung Reksabawa, “kakang Tumenggung. Bubarkan pertemuan ini.”

“Hamba Kangjeng.”

Sejenak kemudian, maka para pemimpin, nayaka dan sentana itupun meninggalkan pendapa agung kadipaten Sendang Arum. Demikian pula Raden Ayu Reksayuda.

Sementara itu, Kangjeng Adipati pun segera masuk keruang dalam.

Kanjeng Adipati tertegun ketika ia melihat Riris duduk seorang diri di ruang dalam itu.

“Riris.”

“Disini biasanya ibunda menunggu ayahanda jika ayahanda menyelenggarakan pasowanan seperti hari ini.”

“Ya, Riris” jawab Kangjeng Adipati sambil duduk pula disebelah anak gadisnya.

“Kadang-kadang ibunda dengan niat yang baik, menyampaikan pendapatnya tentang pembicaraan didalam pasowanan itu.”

”Ya. Riris.”

”Kadang-kadang ayah berkenan. Tetapi kadang-kadang ayah tidak berkenan. Tetapi ibunda tidak pernah menjadi kecewa pada saat-saat pendapatnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan ayahanda sebagai penguasa tunggal di kadipaten ini.”

“Ya Riris.”

“Tetapi ibunda belum pernah melihat bibi Reksayuda hadir di pasowanan seperti tadi.”

“Kenapa dengan bibimu?”

“Aku tidak melihat kewajaran itu, ayah. Tetapi aku justru berpikiran lain. Yang terjadi adalah sekedar solah tingkah bibi yang muda dan cantik itu. Tetapi sudah aku katakan beberapa kali, bibi tidak jujur dengan sikapnya.”

“Kau masih dibayangi oleh perasaan curigamu itu, Riris. Tetapi kau akan melihat kenyataan di hari hari mendatang.”

Ririswari menarik nafas panjang. Katanya ”Baik, ayahanda. Meskipun demikian aku akan tetap berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu’yang dapat mengguncang kedamaian dikadipaten ini.”

Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti perasaan anak gadisnya yang belum lama ditinggalkan oleh ibunya. Ia tidak ingin melihat seorang perempuan lain yang mencoba merayap mengintai kedudukan ibundanya. Tetapi pada saatnya gadis itu akan melihat, bahwa segala sesuatunya berlangsung wajar. Keputusannya adalah keputusan seorang Adipati. Bukan keputusan seorang laki-laki yang jatuh kedalam pengaruh seorang perempuan cantik.

Dalam pada itu, Raden Ayu Prawirayuda telah minta tolong kepada Ki Tumenggung Jayataruna untuk pergi menjemput Jalawaja. Anak laki-laki Raden Tumenggung Reksayuda.

“Baiklah Raden Ayu. Besok aku akan menghadap Ki Ajar Anggara untuk minta agar Raden Jalawaya diperkenankan turun dari lereng gunung dan pergi menjemput ayahandanya dari pengasingan.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Pertolongan Ki Tumenggung tidak akan pernah aku lupakan.”

“Bukankah wajar sekali jika kita saling menolong?”

“Ki Tumenggung sudah menolong aku. Juga didalam pembicaraan di pasowanan sehingga para pemimpin, nayaka dan sentana sebagian besar menyetujui pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda.”

“Bukankah itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kebaikan hati Raden Ayu?”

“Ah, jangan sebut itu kakang? Kebaikanku atau justru kebaikan kakang Tumenggung yang semakin bertimbun.”

“Kita memang saling berbaik hati” desis Ki Tumenggung Jayataruna sambil tertawa.

Raden Ayu Reksayuda pun tertawa tertahan. Jari-jarinya yang lentik menutupi bibirnya yang mekar.

“Sudahlah Raden Ayu.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, kakang.”

“Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pondok di lereng gunung itu untuk menemui Raden Jalawaja.”

Sebenarnyalah, dikeesokan harinya, Ki Tumenggung Jayataruna telah memacu kudanya pergi ke sebuah pondok yang terasing di lereng Gunung. Sebuah pondok yang dihuni oleh Ki Ajar Anggara. Seorang yang telah menyisih dari kehidupan ramai, menyendiri dalam kehidupan yang sepi.

Sepeninggal anaknya perempuan, istri Raden Tumenggung Reksayuda, Ki Ajar Anggara merasa lebih tenang berada di keasingan. Meskipun Ki Ajar Anggara tidak memutuskan hubungannya dengan kehidupan masyarakat di padukuhan di lereng gunung itu, namun Ki Ajar memang lebih banyak menyatu dengan keheningan di lambung gunung.

Apalagi setelah Raden Tumenggung Reksayuda menikah lagi dengan seorang perempuan yang masih muda dan cantik. Maka Ki Ajar menjadi semakin terpisah dari keramaian duniawi.

Namun tiba-tiba saja cucunya, putera Raden Tumenggung Reksayuda datang kepadanya serta memohon untuk dapat tinggal bersama eyangnya yang terasing itu.

Ketika Raden Jalawaja datang kepadanya, Ki Ajar mencoba untuk mencegahnya agar cucunya itu tetap berada di lingkungan yang memberinya tawaran yang lebih baik bagi masa depannya.

Tetapi cucunya merasa lebih mantap tinggal bersama eyangnya, di lambung gunung.

“Kau tidak berteman disini Jalawaja” berkata eyangnya.

“Dalam keadaanku sekarang eyang. Aku lebih senang berteman sepi.”

“Kau masih muda, Jalawaja. Hari-harimu masih panjang. Seharusnya kau mulai menganyam landasan buat masa depanmu.”

“Aku akan hidup disini, eyang. Aku berjanji untuk rajin pergi ke sawah. Mencari rumput buat binatang peliharaan eyang atau menggembalakannya. Aku berjanji untuk berbuat apa saja yang eyang perintahkan.”

Ki Ajar Anggara tidak dapat menolak keberadaan Jalawaja di pondoknya. Agaknya hubungan Jalawaja dengan ayahandanya agak kurang baik sepeninggal ibunya. Apalagi ketika ayahandanya berniat untuk menikah lagi.

“Biarlah untuk sementara Jalawaja ada disini” berkata Ki Ajar Anggara kepada diri sendiri, “mungkin setelah satu dua bulan lewat, hatinya akan dapat menemukan keseimbangannya kembali, sehingga anak itu bersedia pulang ke rumah ayahandanya.”

Tetapi Jalawaja tetap pada pendiriannya. Ia ingin tinggal bersama kakeknya. Apalagi setelah ayahandanya dianggap bersalah dan diasingkan keluar tlatah kadipaten Sendang Arum. Jalawaja seakan-akan menjadi semakin mapan tinggal bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara.

“Tetapi keberadaanmu disini harus ada manfaatnya Jalawaja” berkata kakeknya kepada cucunya setelah cucunya beberapa lama berada di pondoknya.

“Apapun yang eyang perintahkan” jawab Jalawaja.

“Aku tetap berharap bahwa pada suatu saat kau akan kembali ke Sendang Arum.”

“Terlebih-lebih sekarang eyang. Ayahanda adalah orang buangan meskipun ayah masih mempunyai hubungan darah dengan paman Adipati di Sendang Arum.”

“Yang dianggap bersalah adalah ayahmu, Jalawaja. Bukan kau.”

“Tetapi orang-orang Sendang Arum memandang aku, putera Tumenggung Wreda Reksayuda sebagai anak orang buangan yang tidak mempunyai ani apa-apa lagi. Biarlah aku mencari arti hidupku disini, eyang. Jika aku dapat meningkatkan hasil panenan padi, jagung dan palawija dari lahan yang sama, maka aku telah menemukan arti dalam hidupku. Bila aku dapat melipatkan hasil pategalan atau menemukan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang lebih baik dari yang ada, maka disitulah letak arti dari hidupku. Peningkatan hasil panenan akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada orang-orang padukuhan yang mau bekerja keras serta berusaha.”

Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah Jalawaja. Aku akan ikut berusaha dan bekerja keras. Tetapi disamping itu, ada ilmuku yang ingin aku wariskan kepadamu.”

“Ilmu apa yang eyang maksudkan?”

“Ilmu kanuragan.”

“Ilmu kanuragan” Jalawaja mengulang.

“Ya. Ilmu kanuragan.”

Jalawaja menarik nafas panjang. Ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Apapun yang eyang perintahkan, aku akan menjalaninya.”

Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Sejak hari ini, kau akan memperdalam ilmu olah kanuragan. Aku tahu bahwa kau sudah memiliki dasar-dasamya. Sekarang, kau harus lebih mendalaminya.”

Jalawaja tidak ingkar. Bahkan semakin lama, semakin ternyata pada kakeknya, bahwa Jalawaja adalah seorang anak muda yang cerdas dan tangkas. Dengan cepat ia menerima dan memahami hal-hal yang baru didalam olah kanuragan. Sementara itu unsur kewadagannya pun sangat mendukung. Kesungguhannya dan kesediaan bekerja keras membuat ilmunya dengan cepat maju.

Jalawaja tidak pernah mengelakkan waktu-waktunya berlatih dengan keras di sanggar terbuka di padang yang agak luas di lambung bukit. Di udara yang kadang-kadang terasa dingin, dengan tidak mengenakan baju, Jalawaja menempa diri. Dengan alat-alat yang sederhana, Jalawaja meningkatkan kepekaan nalurinya. Namun dengan beban yang semakin hari semakin berat, Jalawaja sedikit demi sedikit meningkatkan kekuatan dan tenaganya.

Disamping itu dengan pemusatan nalar dan budinya, Jalawaja meningkatkan tenaga dalamnya serta daya tahan tubuhnya.

Kakeknya yang sudah tua itupun dengan tekun membimbingnya. Kadang-kadang Jalawaja harus berlatih dengan beban yang digantungkan pada tangan dan kakinya. Kadang-kadangnya dalam latihan-latihan keseimbangan yang berat, Jalawaja menapak pada palang-palang bambu dan kayu. Bahkan sambil mengusung beban yang cukup berat.

Disaat-saat lain, Jalawaja harus tenggelam dalam latihan-latihan olah tubuh, agar tubuhnya menjadi semakin lentur. Sehingga tubuh Jalawaja itu seolah-olah dapat digerakkan sesuai dengan kemauannya.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Jalawaja telah kehilangan seluruh waktunya untuk membajakan diri. Ia masih juga pergi ke sawah. Bukan sekedar mengerjakan apa yang sudah terbiasa dilakukan oleh para petani. Namun Jalawaja dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan terdekat, mencoba untuk meningkatkan hasil sawah mereka.

Tetapi kadang-kadang Jalawaja merasa kecewa, bahwa anak-anak muda itu tidak berpandangan jauh sebagaimana dirinya. Meskipun demikian, Jalawaja dapat menghargai kesediaan mereka untuk bekerja keras.

Dari hari ke hari, Jalawaja memanfaatkan waktu sepenuhnya. Seakan-akan tidak ada waktu tertuang baginya. Jika ia tidak berada di sanggar, maka ia berada di sawah atau pategalan. Baru setelah senja turun, ia berada di sumur untuk menimba air, mengisi jambangan, kemudian mandi.

Namun ada saatnya dimalam hari, Jalawaja pun berada di sanggar tertutup bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara.

Dengan demikian, maka setelah beberapa lama Jalawaja berada di rumah kakeknya, maka kulitnya pun menjadi bertambah gelap oleh terik matahari. Tubuhnya menjadi semakin ramping.

Namun matanya menjadi semakin bercahaya. Langkahnya menjadi ringan dan geraknya menjadi semakin cekatan.

Ketika Ki Tumenggung Jayataruna pergi ke lereng bukit memenuhi permintaan Raden Ayu Reksayuda untuk memanggil Jalawaja pulang, Jalawaja dan kakeknya sedang tidak ada di pondoknya.

Seorang anak laki-laki remaja yang lewat sambil menggiring dua ekor kambing memberi tahukan bahwa Ki Ajar Anggara berada di sebelah gumuk kecil di lambung bukit itu.

“Kakang Jalawaja sedang berlatih ?” berkata gembala itu.

“Berlatih apa?” bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.

“Olah kanuragan“ jawab gembala itu.

“Terima kasih”

Ki Tumenggung Jayataruna pun kemudian telah meloncat ke punggung kudanya pula. Berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebelah gumuk kecil.

Kuda Ki Tumenggung pun kemudian berjalan diantara bebatuan yang berserakkan. Batu-batu sebesar kuda itu sendiri.

Terasa denyut jantung Ki Tumenggung menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ia berada di satu lingkungan yang pernah dikenalnya dalam mimpi.

Di seberang padang perdu yang dipenuhi dengan bebatuan yang besar-besar itu terdapat hutan yang lebat membelit lambung gunung.

Beberapa saat kemudian Ki Tumenggung itu melihat dikejauhan bayangan yang bergerak-gerak di antara bebatuan. Berloncatan dengan tangkasnya, melenting dan berputar di udara. Dengan kedua kakinya, bayangan itu hinggap dengan lunak diatas batu yang besar. Namun kemudian bayangan itu telah melenting lagi dengan cepatnya.

Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa yang sedang melakukan gerakan-gerakan yang mengagumkan itu adalah Raden Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.

Tidak jauh dari tempat berlatih Raden Jalawaja, Ki Tumenggung melihat seorang tua duduk di atas sebuah batu. Rambutnya yang terjurai dibawah ikat kepalanya, nampak sudah memutih. Demikian pula kumis dan janggutnya yang dipotong pendek.

Demikian Ki Ajar Anggara melihat Ki Tumenggung Jayataruna, maka iapun segera meloncat turun.

“Ki Tumenggung Jayataruna” Ki Ajar itu pun menyapanya.

“Ya, Ki Ajar” sahut Ki Jayataruna sambil tersenyum.

“Selamat datang di tempat yang sunyi ini, Ki Tumenggung”.

“Terima kasih, Ki Ajar.”

“Marilah, aku persilahkan Ki Tumenggung singgah di pondokku di sebelah gumuk kecil ini.”

“Aku sudah dari sana, Ki Ajar.”

“Tetapi aku dan Jalawaja ada disini. Nah, sekarang marilah, aku akan pulang. Demikian pula Jalawaja. Aku akan mengajaknya pulang.”

“Tetapi biarlah Raden Jalawaja menyelesaikan latihannya hari ini. Aku senang melihatnya. Tubuhnya menjadi seringan kapuk, sehingga seakan-akan begitu mudahnya dihanyutkan angin. Geraknya cepat cekatan, sedangkan keseimbangannya sangat mapan. Meskipun Raden Jalawaja berloncatan dan berputar diudara, namun demikian kakinya menyentuh sebuah batu, rasa-rasanya kaki itu pun segera melekat dan bahkan menghunjam ke dalamnya.”

“Ki Tumenggung pandai membesarkan hatiku dan tentu hati Jalawaja jika ia mendengarnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Jalawaja masih baru mulai. Segala sesuatunya masih belum mencapai batas kemapanan. Yang dikuasainya barulah dasar-dasar dari olah kanuragan.”

“Jika apa yang seperti dilakukan oleh Raden Jalawaja itu baru mulai, sedangkan yang dikuasainya baru dasar-dasarnya saja, lalu betapa dahsyatnya jika nanti pada suatu saat Raden Jalawaja itu tuntas dalam olah kanuragan. Aku tidak dapat membayangkan, apa saja yang dapat dilakukannya.”

Ki Ajar Anggara tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu, Ki Tumenggung. Namun kami mohon restu, mudah-mudahan Jalawaja benar-benar dapat menguasai landasan bagi kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun disamping itu, akupun berharap bahwa perkembangan jiwanya-pun tetap seimbang, sehingga kemajuannya dalam olah kanuragan akan berarti bagi sesamanya.”

“Ya, Ki Ajar. Tetapi jika Raden Jalawaja tetap, saja berada di tempat terpencil ini, maka arti dari penguasaan ilmunya tidak akan terlalu banyak.”

“Aku berharap, bahwa pada suatu saat ia akan kembali memasuki kehidupan dunia ramai.“

Ki Tumenggung Jayataruna itupun mengangguk-angguk.

Sementara itu, Ki Ajarpun segera bertepuk tangan, memberi-kan aba-aba agar Jalawaja menghentikan latihannya.

Sejenak kemudian, maka tata gerak Jalawaja pun menjadi semakin lamban. Kemudian diletakannya seluruh tenaganya dan dilepasnya nafas-nafas panjang. Kedua belah tangannya-pun kemudian perlahan-lahan turun disisi tubuhnya.

“Jalawaja. Kemarilah, wayah” panggil kakeknya. Jalawaja mengusap keringat di keningnya dengan lengannya. Ketika ia kemudian melangkah mendekati ayahnya, dilihatnya Ki Tumenggung Jayataruna berdiri di sebelah ayahnya sambil memegangi kendali kudanya.

“Paman Tumenggung Jayataruna”

“Ya, Raden.”

“Selamat datang di lambung gunung ini, paman.”

“Terima kasih, Raden. Beruntunglah aku, bahwa aku sempat menyaksikan angger berlatih. Ternyata angger adalah seorang anak muda yang mumpuni dalam olah kanuragan.”

“Paman memujiku. Tetapi pujian paman membuat aku merasa semakin kecil. Aku baru mulai paman. Belum apa-apa.

“Aku sudah mengatakan tadi kepada Ki Ajar Anggara? Jika permulaannya saja sudah seperti itu, aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya nanti setelah Raden Jalawaja matang dalam ilmunya itu.”

“Paman menyanjung aku terlalu tinggi. Jika nanti paman lepaskan, aku akan jatuh terjerembab di bebatuan.”

Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya, “Aku tidak sekedar menyanjung, Raden. Nah, katakan siapakah kawan-kawan Raden yang sebaya, yang mampu mengimbangi kemampuan Raden.”

“Tentu ada paman. Hanya saja aku belum dapat menyebutkan.”

Merekapun tertawa. Demikian pula Ki Ajar Anggara yang kemudian berkata, “Nah, marilah Ki Tumenggung. Singgah di gubukku. Gubug yang tidak lebih baik dari sebuah kandang di rumah para sentana dan nayaka di Sendang Arum.”

“Ki Ajar selalu merendahkan diri. Nampaknya sikap itu berpengaruh juga pada Raden Jalawaja.”

“Bukan merendahkan diri, Ki Tumenggung. Tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya disini.“

Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriringan di jalan setapak menuju ke pondok Ki Ajar Anggara. Ki Ajar berjalan di paling depan. Kemudian Ki Tumenggung menuntun kudanya. Di paling belakang adalah Jalawaja yang tubuhnya masih basah oleh keringat.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah duduk di serambi depan rumah Ki Ajar Anggara. Rumah yang nampaknya sederhana. Tetapi demikian mereka duduk di serambi, Ki Tumenggung Jayatarunapun berdesis, “Alangkah sejuknya, Ki Ajar. Rasa-rasanya aku segan pulang. Rumahku di sendang Arum terasa panas dan bahkan kadang-kadang udara yang panas itu terasa lembab. Angin yang bertiup tidak membuat tubuh menjadi sejuk. Tetapi rasa-rasanya angin itu mengandung uap air yang panas.”

“Bukankah di ruman paman ada beberapa batang pohon yang besar yang dapat melindungi halaman rumah paman dari teriknya panas matahari?”

“Ya. Tetapi pepohonan itu tidak dapat membuat udara di halaman rumahku sesejuk udara di halaman rumah ini.”

“Kita berada di kaki sebuah pegunungan, Ki Tumenggung” sahut Ki Ajar Anggara, “itulah agaknya yang membuat udara di lingkungan ini lebih sejuk.”

“Ya, ya, Ki Ajar” Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Jalawaja, “Ngger. Pamanmu Tumenggung Jayataruna datang untuk menemuimu. Mungkin ada hal-hal yang penting yang akan dikatakannya kepadamu, tetapi mungkin juga kepada kita berdua.”

Jalawaja mengangguk kecil sambil berdesis, “Apakah ada pesan dari paman Adipati? Atau barangkali paman Tumenggung mendapat perintah untuk menangkap aku karena aku anak seorang pemberontak yang sudah dibuang keluar tlatah Sendang Arum?”

“Jangan berprasangka begitu, Raden” sahut Ki Tumenggung Jayataruna dengan nada berat.

“Kau jangan merajuk seperti itu, Jalawaja” berkata Ki Ajar Anggara kemudian, “seharusnya apapun yang telah terjadi, kau jangan memandang dunia ini begitu buramnya.”

“Maaf, eyang. Aku tidak bermaksud berprasangka buruk. Aku hanya tidak dapat mengingkari tekanan perasaan yang seakan datang beruntun, sehingga warna sisi pandangku menjadi buram” Jalawaja berhenti sejenak, lalu katanya kepada Ki Tumenggung Jayataruna, “Aku minta maaf paman.”

“Sudahlah Raden. Barangkali lebih baik segera menyampaikan pesan kepada Raden Jalawaja.”

“Silahkan paman.”

“Kedatanganku kemari sebenarnyalah bukan atas perintah Kangjeng Adipati di Sendang Arum.”

Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk, sementara Raden Jalawaja mendengarkannya dengan seksama.

“Tetapi aku datang menemui Raden Jalawaja karena aku diutus oleh Raden Ayu Reksayuda.”

“Raden Ayu Reksayuda ?” ulang Ki Ajar Anggara.

“Ya, Ki Ajar.”

“Miranti maksud paman” sahut Jalawaja.

“Ya. Tetapi bukankah sekarang aku harus menyebutnya Raden Ayu Reksayuda?”

“Ya. Silahkan paman” nada suara Jalawaja mulai meninggi, “paman diutus apa?”

“Raden Jalawaja dipersilahkan pulang”

“Pulang?”

“Ya, Raden”

“Pulang ke Katumenggungan?”

“Ya, Raden. Raden Ayu Reksayuda minta agar Raden Jalawaja bersedia untuk pulang.”

Raden Jalawaja menarik nafas panjang. Namun kemudian sambil menggeleng ia berkata, “Tidak, paman. Aku tidak akan pulang.”

“Jalawaja” Ki Ajar pun kemudian menyela, ”mungkin ada hal yang penting yang akan dibicarakan oleh ibumu.”

“Eyang. Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan pulang. Aku akan tinggal disini, karena hidupku akan lebih berarti dari pada aku berada di Katumenggungan. Disini aku dapat bekerja keras bersama anak-anak muda di padukuhan sebelah untuk meningkatkan hasil sawah dan pategalan. Membuat parit-parit baru untuk mengairi sawah tadah udan, sementara di bagian lain di lereng bukit ini airnya melimpah. Memperbaiki jalur-jalur jalan yang menghubungkan padukuhan-padukuhan dengan lingkungan yang lebih luas. Membuat jembatan-jembatan bambu yang sederhana tetapi memenuhi kebutuhan. Sedangkan kalau aku berada di Katumenggungan, apa yang dapat aku kerjakan disini? Duduk-duduk, merenung makan dan minum, tidur dan apalagi?”

“Raden” berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian, “memang ada hal yang penting yang harus aku sampaikan kepada Raden, kenapa Raden Ayu Reksayuda memanggil Raden.”

Jalawaja memandang Ki Tumenggung Jayataruna dengan kerut di dahinya.

“Raden. Dalam waktu dekat. Mungkin pekan ini, ayahanda Raden Jalawaja, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan di jemput dari pengasingan.”

“Ayahanda akan dijemput?”

“Ya.”

“Untuk apa? Apakah ayahanda harus menjalani hukuman yang lebih berat di Sendang Arum?”

“Tidak, tidak, Raden. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah mendapatkan pengampunan setelah menjalani hukuman sekitar tiga tahun dan hukuman yang seharusnya dijalani selama lima tahun.”

Raden Jalawaja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian anak muda itu menggeleng sambil menjawab, “Paman. Aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang lagi, apapun alasannya.”

“Ngger” sahut Ki Ajar Anggara, “aku tahu bahwa kau merasa lebih kerasan disini daripada di Katumenggungan. Aku juga tidak berkeberatan kau tinggal disini. Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak akan pulang untuk keperluan-keperluan yang penting. Wayah. Bahwa ayahandamu diperkenankan pulang sebelum menjalani masa hukumannya sampai habis, adalah satu hal yang sangat penting didalam perjalanan hidupnya. Setelah pulang, ayahandamu akan dapat menjalani satu kehidupan yang wajar bersama ibumu.”

“Maaf eyang. Tetapi aku tidak dapat pulang. Aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang selama Miranti masih berada di Katumenggungan.”

“Kenapa Raden. Ibunda Raden Jalawaja mengharap angger pulang. Ayahanda Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan sangat berbahagia jika Raden Jalawaja bersedia ikut menjemput ayahanda dari pengasingannya di Pucang Kembar.

“Tidak. Aku tidak akan pulang.”

“Jika Raden tidak ingin ikut menjemput ayahanda Raden di pengasingan, Raden dapat menunggunya di Dalem Katumenggungan bersama ibunda. Jika ayahanda Raden melihat Raden berada di Dalem Katumenggungan dan menunggu kehadirannya bersama ibunda, maka ayahanda tentu akan bergembira sekali.“

“Sudahlah paman. Aku sudah memutuskan untuk tidak pulang. Biarlah petugas menjemput ayahanda ke Pucang Kembar. Dan biarlah Rara Miranti menunggu kedatangan ayah itu di Dalem Katumenggungan, karena bagi ayahanda, keluarga satu-satunya tinggallah Rara Miranti.”

“Jalawaja” berkata Ki Ajar Anggara, “sebaiknya kau pulang ngger. Kau akan dapat membuat ayahandamu melupakan masa-masa pahit yang pernah dijalaninya di pengasingan.”

“Aku sudah tidak dihitung lagi oleh ayahanda, eyang. Aku sudah berada di luar bingkai kasih-sayangnya. Aku bagi ayahanda adalah anak yang tidak patuh dan karena itu tidak pantas untuk tetap berada di lingkungan keluarganya.”

 “Keadaan tentu sudah berubah, Raden” berkata Ki Tumenggung Jayataruna.

“Tidak. Selama Miranti masih berada di Dalem Katumenggungan keadaan tidak akan berubah. Selama itu pula aku tidak akan memberikan arti apa-apa bagi ayahanda. Karena itu, maka aku tidak merasa perlu untuk pulang serta menjemput ayahanda di pengasingannya.”

bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar